Photo : Ilustrasi
StasiunBerita.id – Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) kini menjelma menjadi gelombang penolakan di berbagai daerah. Kebijakan ini memantik tanya: demi apa kenaikan ini diberlakukan, dan siapa yang akhirnya menanggung beban terberatnya?
Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, penolakan warga kian menguat hingga menjadi sorotan nasional. Aksi serupa merebak di Bone (Sulawesi Selatan), Cirebon (Jawa Barat), Jombang (Jawa Timur), hingga Semarang (Jawa Tengah).
Di Bone, mahasiswa mengepung kantor Bupati dan DPRD. Aksi sempat memanas pada gelombang sebelumnya. Tuntutannya tegas: batalkan kenaikan PBB-P2 yang membebani rakyat, apalagi dilakukan tanpa sosialisasi yang layak.
Di Cirebon, Paguyuban Pelangi Cirebon mengaku sudah menempuh berbagai jalur sejak 2024 dari aksi jalanan, rapat dengar pendapat, hingga laporan resmi kepada Presiden.
Bupati Jombang, Warsubi, berkilah bahwa kebijakan ini merupakan keputusan pendahulunya.
Namun, di Semarang, Bupati Ngesti Nugraha memilih langkah berlawanan: membatalkan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah menerima surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri.
Kementerian Keuangan mencatat, PBB-P2 menyumbang rata-rata 15 sampai 20 persen terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) tiap tahun. Tetapi para pengamat mengingatkan, kebijakan fiskal semestinya tidak hanya mengejar angka, melainkan menimbang daya beli dan kondisi ekonomi masyarakat terlebih di tengah pemulihan pasca pandemi.
Pertanyaannya kini semakin menguat, Apakah kenaikan PBB-P2 ini sebuah keharusan demi stabilitas fiskal, atau justru pisau bermata dua yang menggerus ekonomi lokal, perlukah kebijakan pajak disesuaikan dengan karakter setiap daerah, atau semua dipaksa seragam dan seberapa kuat suara rakyat bisa membelokkan arah kebijakan ini?