Dian Siswarini ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Telkom Indonesia dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) di Jakarta, Selasa (27/5/2025), menggantikan Ririek Adriansyah ( foto : istimewa)StasiunBerita.id, Jakarta – Center For Budget Analysis (CBA) kritik kepemimpinan Direktur Utama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, Dian Siswarini.
Belum genap tiga bulan sudah menghadapi tantangan besar yang mengguncang pondasi keuangan perusahaan plat merah tersebut.
Direktur CBA, Uchok Sky Khadafi, mengungkapkan bahwa indikator fundamental keuangan PT Telkom Tbk, menunjukkan tren yang sangat memprihatinkan.
Dalam laporan yang dirilisnya, terjadi penurunan aset sebesar Rp 5,8 triliun dalam periode satu tahun terakhir, dari Rp 299 triliun (Juni 2024) menjadi Rp293 triliun (Juni 2025).
“Ini bukan penurunan biasa, ini penurunan yang mencerminkan lemahnya arah kebijakan strategis di tubuh Telkom setelah kepemimpinan baru masuk,” ujar Uchok dalam keterangannya kepada media, Rabu 6 Agustus 2025.
Lanjut Uchok, yang lebih mencemaskan nilai hutang atau total kewajiban Telkom yang melonjak signifikan. Pada Juni 2024, Telkom memiliki hutang sebesar Rp 137,1 triliun. Namun dalam laporan keuangan terbaru, angka tersebut naik drastis menjadi Rp 145,4 triliun.
“Artinya, terjadi lonjakan utang sebesar Rp 8,2 triliun hanya dalam setahun. Kalau ini terus dibiarkan, Telkom tidak hanya akan kehilangan daya saing di industri, tapi juga akan membebani fiskal negara jika perlu diselamatkan lewat intervensi,” tambahnya.
Penurunan juga terlihat dari sisi pendapatan. Selama periode Juni 2025, pendapatan Telkom tercatat hanya Rp 73 triliun, turun Rp 2,2 triliun dari Rp 75,2 triliun pada Juni 2024.
“Ini menandakan adanya stagnasi bahkan kontraksi di lini bisnis yang seharusnya menjadi motor penggerak pertumbuhan digital nasional,” lanjut Uchok.
CBA menilai saat dipimpin Dian Siswarini terlihat semakin menurun, berbeda ketika Telkom dipimpin Ririek Adriansyah.
Telkom mengalami lonjakan pendapatan dari Rp 37,4 triliun (Maret 2024) menjadi Rp 75,2 triliun atau tumbuh Rp 37,8 triliun.
Sebaliknya, pada kuartal pertama di bawah Dian Siswarini, pendapatan hanya meningkat dari Rp 36,6 triliun (Maret 2025) menjadi Rp73 triliun (Juni 2025), atau naik Rp 36,4 triliun.
“Ini berarti pertumbuhan yang dicapai lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya, sekalipun menghadapi tekanan pasar dan tantangan global yang relatif serupa. Bukan hanya soal angka, tapi soal kepemimpinan strategis yang visioner dan mampu membaca arah industri. Kinerja kuartalan ini menjadi refleksi lemahnya kepemimpinan baru di Telkom,” kritik Uchok.
Uchok Sky Khadafi menegaskan bahwa penurunan performa Telkom bukan hanya menjadi persoalan korporasi, melainkan menyangkut kepentingan publik yang lebih luas.
“Telkom bukan sekadar perusahaan biasa. Ia adalah tulang punggung infrastruktur digital nasional. Kalau Telkom goyah, maka efek domino bisa terasa ke berbagai sektor pendidikan, ekonomi digital, layanan pemerintahan, dan keamanan data nasional,” ujar Uchok.